Namanya Nindi Prasisti. Pendiam dan penuh misteri. Dan aku sedikitpun tak menyukainya. Setiap harinya berteman dengan kerudung merah menyala karena pelanggaran yang ia perbuat. Padahal ia baru kelas 1 madrasah aliyah al – ishlah. Sekelas denganku. Mulai dari tidak pergi ke masjid hingga keluar pondok tanpa izin. Entah alasan apa yang membuatnya seperti itu. Sampai membuat namanya tak asing di telinga para santri. Nakal dan menjengkelkan. Itulah yang ada di benak mereka.
Dan hari ini ke – 7 kalinya ia kena hukuman. Kembali mengenakan kerudung merah kebanggaannya, mengelilingi asrama putri dengan dikawal pengurus OPPI. Membawa suasana riuh di sekelilingnya. Menurut kabar burung ia lagi – lagi keluar pondok tanpa izin. Semakin membuatku benci terhadapnya. Santri macam apa dia?. Aku juga tak habis fikir bagaimana bisa santri semacam itu masih dipertahankan di area pondok. Dalih apa yang ia gunakan?.
Usai acara qirob si Nindi semua santri semakin banyak yang memperbincangkannya. Jarak antara kamarku dengannya yang tak begitu jauh membuatku dapat melihat reaksi – reaksi negatif dari teman sekamarnya terhadap dirinya. Dikucilkan, dihina, dan di caci maki. Sempat terbersit rasa kasihan di benakku. Karena tak ada seorang pun yang mau mendekatinya. Bahkan aku pun juga tidak. Tapi mengingat point – point merah yang ia dapatkan, rasa kasihanku hilang seketika.
Dan aku merasa ia terus mendekati aku. Berusaha mengajakku bicara dan berkenalan. Dan satu reaksi yang selalu aku berikan. Cuek dan menghindarinya. Pernah suatu hari saat aku duduk di bangku kelas sendirian, ia datang dan menghampiriku. Dengan kerudung merahnya. Mencoba mengulurkan tangannya, berharap balasan jabat tangan dariku. Tapi kemudian aku pergi berlalu meninggalkannya dengan tangan yang masih terulur. Aku tahu aku jahat. Tapi aku benar – benar ‘belum’ bisa menerimanya.
Bukan hanya itu, saat istirahat sekolah berlangsung bahkan ia membawakanku makanan ringan yang berhasil ia beli di kantin yang antrinya bukan main saat jam istirahat. Meletakkannya di atas meja tepat di hadapanku. Dan aq masih pada pendirianku. Menolak niat baiknya untuk berkenalan denganku dan berlalu meninggalkannya. Dan saat aku kembali makanan yang tadi dibelinya untukku masih tergeletak manis di atas mejaku. Dengan sebuah note kecil bertuliskan, “walaupun kau tak suka denganku, aku harap kau mau menerima makanan sederhana dari orang hina sepertiku”. Aq melirik ke bangkunya. Ia menatapku dalam. Dengan senyum kecil tersungging di bibir mungilnya. Segera ku palingkan wajah dan menyimpan makanan itu ke dalam laci meja. Dan sepulang sekolah kuberikan makanan itu kepada anak pemulung sampah yang sering main ke pondok. Yang tanpa kusadari ia melihatnya, menundukkan kepala dan teramat sedih.
Pagi – pagi sekali aku sudah sampai di sekolah. Guru BP menyuruhku untuk menghadapnya. Kebiasaan yang tak asing bagiku. “ silahkan duduk” ucap Ustadzah Lina saat aku sampai di depan pintu. Ia membuka – buka buku sebentar. Seolah mencari data yang tak mau ia lewatkan di saat momen penting seperti ini. “ pelanggan setia kamu dew, Dewi Ningsih. 5 bulan belum bayar SPP. Jadi total seluruh tunggakanmu 2 juta rupiah.” Kata – katanya pelan dan menusuk. “berapa kali saya memanggilmu untuk menagih tunggakan SPP? kemana uang yang diberikan orangtuamu? Apa kau buat jajan?”, lanjutnya semakin pedas. “ sebentar lagi ujian semester dan apabila kamu tidak melunasi semuanya sebelum ujian semester berlangsung maka konsekuensinya kamu tidak boleh ikut ujian!”. Aku semakin tertunduk. Tak kuasa menahan air mata. “ saya akan segera melunasinya ustadzah. Maafkan saya”. Ucapku terbata – bata. “ baik akan saya tunggu janjimu. Ya sudah, sekarang kamu boleh kembali ke kelas. Tak lama lagi jam pelajaran di mulai”.
Langkah kupercepat. Bukan menuju kelas, melainkan menuju halaman kosong di belakang kelas. Walaupun tempatnya terbilang menyeramkan, tapi aku sudah tak mempedulikannya. Aku menangis, terisak. Ingin rasanya aku teriak. Andaikan saja tadi aku masih sanggup bicara, pasti sudah aku ceritakan semua kejadian nyata yang menimpaku. Yang mungkin bisa menghapuskan sedikit penilaian negatif ustadzah terhadap diriku.
Ditengah kesedihanku, tiba – tiba sebuah tangan terulur menyeka air mata yang membasahi pipiku. Aq menoleh spontan. Tak menyangka kehadiran seseorang yang ada disampingku. Kerudung merahnya berkibar tertiup angin. “ nindi”, gumamku lirih. Ia hanya diam memandangiku dalam. Menemaniku larut dalam kesedihanku. Ia hanya diam, memandangiku dan merangkul pundakku. Seolah berkata “ hapus air matamu”. Lama sekali aku tenggelam oleh kesedihanku.
“ Ada apa dewi?” gumamnya pelan dan hati – hati, takut menyinggungku mungkin. “tunggakan SPP.” Aku kembali terdiam. “ aku percaya padamu”. Ucapnya singkat dan bergegas pergi. Ia begitu aneh. Datang secara tiba – tiba, pergipun secara tiba – tiba pula. Tapi dari sinilah justru kisahku dengannya dimulai.
Beberapa hari setelah kejadian itu aku dengannya semakin dekat. Banyak kisah hidupku yang sudah aku percayakan padanya. Bahkan beberapa kali kami terlibat dalam perbincangan seru yang tak jarang membuat kami tertawa bersamaan. Dan dari cerita yang sedikit dilontarkannya aku baru tahu kepribadian aslinya, banyak pelanggaran yang ia lakukan karena suatu alasan yang tidak mau ia paparkan. Yang bahkan membuatku semakin penasaran karena begitu ia tutupi. Tapi ia tetap pada pendiriannya untuk menyembunyikan alasan yang dirasa begitu penting baginya. Aku menyesal pernah menilainya buruk di mataku. Bahkan menganggapnya hina.
Satu bulan lagi ujian semester akan diselenggarakan. Aku semakin bingung memikirkan cara untuk melunasi SPP. Bagaimana bisa aku membayarnya, sedangkan tak ada pemasukan yang bisa aku terima. Nenek yang hanya bekerja sebagai tukang cuci rumahan semenjak ayah meninggal hanya cukup untuk uang makannya sehari – hari dan sedikit uang jajanku. Ayah meninggal beberapa bulan silam membuat semua kehidupanku hancur. Seseorang entah sengaja atau tidak menabrak ayah yang kebetulan sedang berada di depan rumah. Kejadian itu tak kan pernah bisa lepas dari ingatanku. Tepat di hadapan mataku ayah tergeletak berlumuran darah. Dan orang yang menabraknya bergegas pergi dengan mobil silvernya. Aku masih bisa melihatnya dari celah kecil pada jendela mobilnya. Di belakangnya seorang anak perempuan duduk ketakutan. Walau aku tak tahu siapa pria yang meenabrak ayah, tapi aku ingat betul wajahnya. Andaikan aku dipertemukan kembali dengannya aku pasti bisa mengenalinya.
“Dorrr” aku terkejut saat seseorang datang dan mengagetkanku tanpa permisi. “nindi” gumamku sedikit cemberut. Ia hanya tersenyum lebar dan duduk di hadapanku. “ mana kerudung kebanggaanmu?” gurauku padanya. “udah capek dew,” senyumnya lebar memperlihatkan rentetan gigi – gigi putihnya. “ beneran nih? Nindi, kamu mau berjanji kan sama aku?” ucapku dengan nada serius. “ janji apa?”. “ aku mau kamu berjanji untuk meninggalkan semua pelanggaran – pelanggaran yang kamu lakukan selama ini dan gak bakalan melanggaar lagi dengan alasan apapun!” ia terdiam sejenak, berfikir.” Oke, aku janji”. “ aku pegang janjimu ya, awas aja kalau di langgar”.
*********
Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Dua minggu lagi ujian semeser. Dan aku masih saja dibingungkan oleh tunggakan SPP ku yang aku sendiri tak tahu bagaimana melunasinya. Ngomong ke ibu juga tidak mungkin karena beliau sedang berada di Rumah Sakit Jiwa. Ya, semenjak kejadian tabrakan ayah, ibu masuk Rumah Sakit Jiwa dan bahkan aku pun tidak bisa merawatnya karena dorongan nenek untuk masuk pesantren. Mungkin karena itulah aku sangat membenci orang yang telah menyebabkan ayah meninggal. Yang membuat hidupku semakin kacau dan menderita.
Di tengah sibuknya aku dengan semua anganku. Aku mendengar dari gerombolan anak disampingku sepertinya memperbincangkan sesuatu yang menarik. Aku memasang telinga baik – baik. “ eh, nindi itu denger – denger hari ini harus keluar dan berhenti jadi santri disini”. Ucap cewek berkerudung merah. Hatiku berdebar tak karuan. Ada apa lagi dengannya?. “iya, sekarang aja dia ada di kantor OPPI bersama ayahnya”, sahut teman di sampingnya. Aku segera melangkah menuju kantor OPPI, tak tahan lagi ingin membuktikan kebenaran gosip yang beredar itu.
Langkahku terhenti tepat di depan kantor OPPI. Menatap dalam wajah Nindi. Pucat dan tertunduk. Di sampingnya duduk seorang bapak berkumis tebal dengan perawakan tubuh yang besar dan gagah. Pasti itu ayahnya. Tunggu! Sepertinya aku mengenali wajah pria yang di samping Nindi itu. Tapi siapa ya? Di mana aku mengenalnya?. Wajahnya benar – benar tidak asing di mataku. Tapi aku tak berhasil mengingat sedikit pun tentangnya.
Agak lama aku menunggu Nindi menghadapi persidangannya. Aku masih belum bisa mempercayai kenyataan ini. Entah pelanggaran apa yang dilakukannya. Apalagi ia telah berjanji padaku untuk meninggalkan segala pelanggarannya. Ia berdiri. Masih dengan tertunduk. Pria disampingnya, yang sepertinya aku mengenalnya tampak geram menahan amarah. Tak ada sedikitpun senyum yang tersungging dari bibirnya. Ia berhenti, tepat di hadapanku. Dan ayahnya pergi entah kemana. “ma’afkan aku ya, aku udah melanggar janjiku. Dan sekarang aku harus pergi dari sini”, ujung matanya basah oleh air mata. Aku sudah terlanjur kecewa karena ia telah mengingkari janjinya sendiri. Aku pergi, tanpa berkata sepatah pun padanya.
Sebelum ia benar – benar pergi dari pondok ia kembali menemuiku. Aku tak mau membuang kesempatan terakhirku berbincang dengannya. Karena aku percaya pasti ada suatu alasan yang memaksanya seperti ini. “aku terpaksa melakukan ini, percayalah!”, ujarnya mengawali pembicaraan. “tapi aku kecewa nin!. Dengan mudahnya kau berjanji padaku, dan dengan mudahnya pula kau ingkari. Sudahlah memang kau pantas pergi dari sini. Aku juga menyesal udah mengenalmu. Bahkan aku menyesal pernah dekat dan bersahabat denganmu”. Entah kenapa kata – kata kasar dan jahat yang keluar dari mulutku. Padahal awalnya aku ingin bicara baik – baik dengannya. Ia segera berbalik dan pergi. Dari gerakan tubuhnya aku tahu ia sedang terisak.
Seminggu berlalu begitu saja. Tiba – tiba terselip rasa rindu dalam hatiku akan sosok nindi. Ia yang akhir – akhir ini selalu ada menemani hari – hari sepiku. Dan hari ini pula aku di undang secara khusus ke ruang BP. Seperti biasa, mempertanggung jawabkan tunggakan SPP. Dan aku pun sudah siap kalaupun harus ikut pergi menyusul nindi. “ini ada titipan dari seseorang, dan kamu saya nyatakan bisa mengikuti ujian semester ganjil ini”. Ustadzah menyerahkan sepucuk surat beramplopkan putih. Aku bingung dengan semua ini. Tak faham maksud dari ucapan singkat ustadzah. Dan aku keluar dari ruang BP dengan menyimpan seribu tanya, membolak balik amplop pemberian ustadzah.
Di dalam kamar dengan sangat hati – hati kusobek ujung amplop itu. Beberapa lembar surat, dan sepertinya aku mengenal tulisan itu.
Al – ishlah, 30 Desember 2012
Senang bisa berkenalan dan dekat denganmu. Bahkan aku bangga punya sahabat sepertimu. Sebelumnya aku minta ma’af yang teramat sangat, mungkin di akhir perjumpaanmu denaganku hanya kekecewaan yang membekas di hatimu karena ulahku. Ma’af beribu ma’af. Aku menyayangimu dan sebetulnya gak berniat buat kamu kecewa.
Karenamu aku sadar makna persahabatan sesungguhnya. Sahabat ada tanpa syarat. Sahabat ada karena ketulusan. Sahabat ada tanpa pamrih. Dan sahabat datang dengan seribu makna.
Kehadiranmu dalam hidupku membawa seribu makna terpendam yang tak bisa aku sebutkan saking banyaknya. Engkau seakan lentera dalam hidupku yang selalu menerangi langkah gelapku.
Sebetulnya aku gak mau mengungkapkan tabir ini di depanmu. Terlalu sulit. Bahkan sebenarnya tanganku tak kuasa untuk menuliskannya. Tapi ini harus kulakukan agar semua jelas.
Bulan juli adalah bulan terberatku, setelah ku ketahui Dewi Ningsih, putri tunggal Alm. Sevtya Nugraha ada dalam satu lingkungan denganku. Apalagi satu kelas. Selama beberapa bulan aku tersiksa dengan batin yang memberontak. Mencoba menenangkan batin dengan caraku sendiri yang aku tahu itu sebuah kesalahan besar. Melalui pelanggaran – pelanggaran yang aku lakukan.
Aku harus jujur mengenai satu hal ini, satu hal yang menurutku penting bagimu dan kehidupanmu selanjutnya.
Beberapa bulan yang lalu, aku terpaku di dalam mobil menatap jasad yang tergeletak berlumuran darah tepat di depan mobilku. Mungkin aku masih terlalu kecil untuk memahami apa yang ayahku lakukan. Ya, ayah dengan sengaja menabrakkan mobilnya ke orang yang di bencinya, Sevtya Nugraha. Hanya karena masalah pekerjaan. Beberapa hari sebelumnya telah ia rancang matang – matang strategi pembunuhan ini. Yang akupun mengetahuinya tapi tak memahaminya. Sekali lagi mungkin aku masih terlalu kecil.
Setelah kejadian itu trauma berkepanjangan menggelayuti hidupku. Aku yang dulu periang menjadi pemurung. Lebih banyak diam dan menyendiri. Karena slide - slide kejadian itu seolah menari – nari di kelopak mataku. Ibu yang tak tahu sedikit pun kejahatan ayah bingung dengan keadaanku, ia begitu mengkhawatirkanku. Begitu besar kekhawatirannya sampai ia membawaku ke psikiater. Yang justru itu semakin menyiksaku. Memangnya aku gila?.
Berkali – kali ayah mencoba mendekatiku dan mengajakku bicara. Dan berkali – kali pula aku menghindarinya, karena aku tahu pasti hal itu yang akan dibicarakannya. Dan semua ini pengaruhnya ke nilai UN ku. Aku dapat nilai paling rendah dari semua teman yang ada di sekolahku. Padahal aku merupakan bintang kelas di sekolahku. Dan dari sini ayah mulai memahami ketakutan dan trauma yang kualami. Hingga ia sedikit demi sedikit menjauhiku. Dari sinar matanya yang kulihat diam – diam, ada penyesalan yang mendalam atas perbuatannya.
Hari libur kelulusanku lebih banyak aku habiskan di kamar. Dan hanya bertemankan air mata yang setiap harinya membuat bantalku basah. Aku benar – benar tertekan dengan trauma yang melandaku. Apalagi ketika melihat wajah ayahku, kebencian selalu saja menghinggapiku. Hingga akhirnya aku memutuskan melanjutkan study SMA ku di pondok pesantren. Dengan harapan gak bakalan lagi bisa melihat wajah ayahku. Padahal jauh – jauh hari aku memimpikan SMAN favorit di kotaku. Tapi harapan itu sirna sudah. Apalagi dengan nilai akhirku yang super pas – pasan.
Kenyataan pahit semakin erat bersahabat denganku. Ketika pertama kalinya aku melihatmu bersama seorang nenek – nenek tua berjalan di area pondok yang akan aku huni 3 tahun kedepan. Awalnya aku tak mengenalimu. Hanya benar – benar tak asing dengan wajahmu. Hingga akhirnya aku menemukan jawaban atas do’aku selama ini. Sejak lama aku berdo’a agar dipertemukan dengan sosok anak yang dulu berdiri terpaku memandangi jasad ayahnya yang tak berdaya karena ulah kejam ayahku. Dan orang itu adalah kamu. Perasaanku semakin tersiksa mendengar cerita – cerita orang tentang hidupmu yang dalam kesusahan semenjak ayahmu meninggal dunia. Kesana – kemari aku menggali berita tentangmu dan kehidupan barumu tanpa sosok ayah.
Bodohnya aku yang tak berani berterus terang dihadapanmu. Padahal sudah sangat jelas semua berita yang kuperoleh tentangmu. Bahkan ibumu yang harus masuk rumah sakit jiwa karena begitu terpukul kehilangan sosok suami tercintanya pun aku tahu. Tapi nyaliku menciut setiap berhadapan denganmu. Mungkin aku memang pantas disebut “ pengecut “.
Sekarang aku sudah bisa sedikit lega. Walau aku harus rela menanggung sedih yang berlebihan karena harus berpisah dengan sahabat sepertimu. Tapi setidaknya trauma yang kualami sedikit memudar, meski belum seutuhnya. Lega karena aku sudah sering sekali berbincang dengan ibumu di rumah sakit jiwa dan bisa mengetahui perkembangan kondisinya yang semakin hari semakin membaik. Walaupun setelah itu aku harus mengenakan kerudung merah menyala yang benar – benar membuatku malu dan dipermalukan. Ya, hampir setiap minggu aku keluar pondok karena ingin menebus rasa bersalahku. Mengunjungi ibumu yang tengah menderita di balik kejamnya dinding rumah sakit jiwa. Dan setelah itu pula hukuman siap menantiku. Yang membuat semua orang benci bahkan menganggapku hina. Bahkan kamu juga kan? Tapi memang itulah yang pantas aku dapatkan karena ditakdirkan menjadi anak seorang pembunuh.
Selamat menempuh ujian semester. Tak usah kau risaukan uang SPP lagi. Aku sudah melunasi semuanya. Sebagai pembalasanku atas rasa bersalahku padamu. Walaupun maaf, uang yang aku gunakan untuk membayar SPPmu adalah uang yang aku pinjam paksa dari beberapa teman kita tanpa seizin mereka. Dan karena itulah aku pergi. Karena itu pula aku diusir dari pesantren secara hina. Karena itu pula aku tidak diperkenankan lagi untuk menemani hari – harimu. Dan karena itu pula aku semakin merasa lega karena bisa sedikit mengurangi beban – beban berat di pundakmu. Tapi tenang saja aku sudah menyiapkan seribu cara untuk mengganti uang teman kita yang kemarin aku pinjam paksa. Dan semua itu sudah aku fikirkan matang – matang.
Oh ya, satu hal yang perlu kamu ketahui. Aku bahkan sudah berusaha melaporkan ayahku kepada polisi. Tapi aku hanyalah manusia biasa, naluriku sebagai seorang anak tidak sanggup untuk melakukannya. Aku hanya bisa terisak di hadapan para polisi yang justru membuat mereka marah dan jengkel karena mengiraku hanya main – main.
Untuk yang terakhir kalinya beribu – ribu maaf kuhaturkan kepadamu, walau aku tahu tak mudah untuk memaafkanku dan keluargaku.
Hanya air mata yang mewakili perasaanku saat ini. Nindi bahkan tidak bersalah, tapi ia melakukan semua ini demi menebus kesalahan ayahnya. Bahkan sekarang yang pantas dipandang hina sebetulnya adalah aku. Yang bisanya menilai orang tanpa pertimbangan.
By : Nayli Nur Rasyidah
Rabu, 19 Februari 2014
GADIS BERKERUDUNG MERAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ko ga ada nama pengarangnya ini ?
BalasHapusitu punyaQ, tpi tolong g usah d cantumin nmanya y min, thanks :)
BalasHapus